Lensaku.ID – Dua survei terbaru membuktikan, boikot konsumen Indonesia memang punya daya gedor dahsyat, karena mampu menggerus penjualan produk-produk perusahaan multinasional terafiliasi Israel. Kampanye global “Eyes on Rafah” di Palestina yang viral pada akhir Mei 2024, juga diikuti menguatnya gerakan boikot, sehingga berdampak pada jebloknya produk-produk terafiliasi Israel dan berimbas pada kenaikan penjualan produk-produk dalam negeri di Indonesia.
“Penurunan jumlah produk terjual dikarenakan brand-brand yang terdampak dari aksi boikot pasca viralnya kampanye ‘Eyes on Rafah’ di media sosial,” kata Hanindia Narendrata selaku Co-founder & CEO Compas.co.id dalam rilisnya (26/6).
Compas adalah perusahaan riset pemasaran yang melakukan survei sepanjang periode 19 Mei – 15 Juni 2024. Survei boikot produk-produk yang terafiliasi Israel ini memonitor Fast Moving Consumer Goods (FMCG) di E-commerce melalui platform Shopee dan Tokopedia.
Berdasarkan data Compas, sales value 156 dari 206 brand yang diyakini terafiliasi Israel menurun, sebaliknya manufaktur dalam negeri justru meningkat. Total jumlah produk terjual (sales quantity) dari 206 merek terafiliasi Israel di Indonesia merosot 3% dibanding dua pekan sebelumnya, dari 6.884.802 jumlah produk terjual, turun ke angka 6.673.745 produk.
Pada periode survei, sebanyak 37 kategori produk ibu dan bayi masuk dalam list boikot, dan 92% di antaranya mengalami penurunan jumlah produk terjual. Sementara pada brand kesehatan, sebanyak 29 brand yang masuk ke list boikot, 74% di antaranya mengalami penurunan jumlah produk terjual dibandingkan dengan 2 minggu sebelumnya.
Selanjutnya, pada kategori makanan dan minuman, sebesar 74% dari 75 brand yang terboikot juga mengalami penurunan jumlah produk terjual. Lalu pada 85 brand di kategori perawatan dan kecantikan, sebesar 62% di antaranya juga mengalami penurunan penjualan.
Penurunan makin tajam terjadi pada periode 1 hingga 7 Juni 2024, di mana sektor FMCG di E-commerce anjlok sebesar 7% dari 2.407.460 ke 2.223.273 produk.
Namun, hasil survei Compas juga mencatatkan hal yang menarik. Berdasarkan riset yang dilakukan, Narendrata menjelaskan bahwa konsumen yang melakukan aksi boikot beralih ke brand produksi dalam negeri yang diyakini tidak terafiliasi Israel.
“Konsumen yang mengikuti aksi boikot cenderung mengganti produk dengan brand lain yang tidak terafiliasi Israel, dan lebih memilih brand lokal sebagai substitusi produk,” kata Narendrata.
Untuk kategori makanan dan minuman, kalau sejumlah brand perusahaan multinasional mengalami penurunan penjualan yang cukup signifikan, sebaliknya produsen dalam negeri justru tumbuh signifikan. Sebagai contoh, Mayora mengalami peningkatan penjualan produk sebanyak 9%, disusul Wings Group 4,7%, Gunung Slamet Slawi 1,7% (GSS).
Tak ayal, Narendrata mengatakan, peralihan konsumen dari brand global ke brand produk dalam negeri di kategori ibu dan bayi paling jelas kelihatan, dibandingkan dengan kategori FMCG lainnya. Di sektor ini, produsen global mengalami kemerosotan jumlah produk terjual hingga mencapai angka 18,3%.
Dengan kata lain, brand global di kategori ibu dan bayi adalah yang paling keras terdampak akibat boikot produk terafiliasi Israel, dibandingkan kategori lain di FMCG.
“Melihat pantauan terkini melalui sosial media, diperkirakan gerakan boikot masih akan berlanjut,” kata Narendrata.
Pada survei yang berbeda, Edisi terbaru Edelman’s 2024 Trust Barometer Special Report: Brands and Politics, yang dikeluarkan pada pertengahan Juni 2024, melaporkan hasil survei 15.000 konsumen di 15 negara, yang menunjukkan bahwa Indonesia, bersama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA), berada di peringkat teratas dalam hal aktivitas boikot terhadap merek-merek global yang terafiliasi Israel.
“Di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, satu dari dua warganya menyatakan boikot terhadap merek-merek yang ada hubungannya dengan Israel,” papar laporan tersebut.
Survei menunjukkan, 72 persen responden di Arab Saudi memboikot merek yang mereka anggap mendukung Israel dalam genosida Israel terhadap warga sipil Palestina di Gaza. Di UEA, angka tersebut mencapai 57 persen. Merek-merek seperti Starbucks, McDonald’s, dan Coca-Cola menghadapi kemerosotan penjualan yang tajam akibat boikot ini.
Aksi boikot dari negara-negara Arab dan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia dan Malaysia, telah menggoyahkan banyak perusahaan multinasional yang berpusat di Barat.***