Lensaku.ID – Produsen makanan dan minuman global, termasuk Coca-Cola, Nestle dan Danone, memuncaki daftar perusahaan penyumbang terbesar sampah plastik di dunia, menurut sebuah laporan riset anyar yang diterbitkan jurnal Science Advance.
Laporan merujuk pada data 1.576 audit merek (brand audit) sampah plastik di 84 negara, termasuk Indonesia, periode 2018-2022.
Keseluruhan audit merek tersebut berhasil mengidentifikasi 28.570 merek sampah plastik yang tercecer di lingkungan terbuka, semisal pantai, sungai dan taman.
Dari pengolahan data, sampah plastik minuman bersoda Coca-Cola diketahui mencakup 11% dari keseluruhan sampah yang teridentifikasi.
Sampah PepsiCo, juga produsen minuman bersoda, menempati peringkat kedua dengan kontribusi 5% dan disusul porsi sampah Nestle dan Danone, bermarkas di Perancis, yang masing-masingnya tercatat 3%.
Nama besar lainnya yang juga masuk dalam daftar 15 besar perusahaan penyumbang pencemaran plastik global termasuk tiga group bisnis makanan dan minuman asal Indonesia, yakni Wings, Mayora Indah dan Indofood milik Salim Group.
Laporan mengklaim ada korelasi yang kuat antara tingkat produksi yang tinggi dan sampah plastik yang tercecer di lingkungan, sehingga tak mengejutkan bila sampah plastik perusahaan makanan dan minuman mendominasi pencemaran global.
Karena itulah, para peneliti mendesak ‘pengembangan pusat data global yang sifatnya open-access (terbuka)’ agar perusahaan bisa didesak untuk menulusuri dan menginformasikan kemasan plastik produknya yang berakhir menjadi sampah di lingkungan terbuka.
Janji yang Diingkari
Sebelumnya, televisi publik Eropa, Arte, pada November 2023 menayangkan investigasi khusus yang mempertanyakan komitmen lingkungan Danone, raksasa makanan dan minuman asal Perancis.
Kritik media tersebut tertuju pada keputusan Danone yang masih menjual air mineral dalam kemasan gelas plastik di Indonesia.
Padahal, pejabat perusahaan disebutkan telah mengakui kalau jenis kemasan tersebut tidak ramah lingkungan karena ukurannya yang kecil dan gampang tercecer, sifatnya hanya sekali pakai dan kurang bernilai ekonomis untuk didaurulang.
Di Bali, menurut laporan, sampah gelas plastik Aqua, brand utama Danone di Indonesia, saban tahun menjadi yang paling banyak dijumpai tercecer dan mengotori sungai dan pantai-pantai eksotik di Pulau Dewata.
Menurut Arte, Danone sebenarnya telah merencanakan penarikan produk gelas plastik dari Bali. Hal itu terekam dalam sebuah pernyataan Corine Trap, Presiden Danone di Indonesia hingga tahun 2022, di Instagram pada 21 Februari 2021.
Kala itu, saat berada di Bali untuk sebuah kegiatan bersih-bersih pantai, dia menulis, “Pagi ini, Aqua mengadakan kegiatan bersih-bersih di sekitar pantai Perancak. Dan berita besar lainnya adalah kami akan menarik kembali produk kemasan gelas kami dari Bali tahun ini!”
Namun liputan menyebut Danone ingkar janji. Bahkan, saat dikonfirmasi oleh Arte, Corine justru menghapus postingan tersebut.
Belakangan, Danone mempertegas pengingkaran mereka atas rencana penarikan produk gelas plastik di Bali.
“Kami tidak percaya bahwa menghentikan produk kemasan ini akan menjadi solusi terbaik, karena ukuran ini popular dan terjangkau di negara ini, yang juga banyak digunakan oleh merek pesaing lainnya,” kata perusahaan dalam sebuah pernyataan ke pemegang saham pada 2022.
Brand audit Sungai Watch, lembaga nirlaba yang aktif dalam pengawasan sampah plastik di Bali, kurun 2021-2023 rutin menempatkan Danone sebagai brand yang sampah plastiknya terbanyak yang mencemari perairan di Bali.
“Sampah plastik yang paling banyak kami temui di pusat penyortiran kami adalah kemasan gelas plastik sekali pakai, dan salah satu produk yang paling sering kami temui adalah Aqua. Merek ini sangat bermasalah karena kami selalu menemukan sampahnya dalam jumlah besar, baik di sungai, hutan mangrove, maupun di pantai,” kata liputan mengutip penjelasan seorang aktivis Sungai Watch.
Menurut liputan, sikap Danone tersebut “mengejutkan” untuk ukuran sebuah perusahaan multinasional yang seharusnya peduli terhadap perlindungan lingkungan.
Terlebih mengingat Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia telah mencoba menangani pemasalahan tersebut dengan mengeluarkan sebuah peraturan pada tahun 2019 yang mendorong produsen meninggalkan botol plastik berkapasitas kurang dari 1 liter. ***