Dugaan Kejahatan Lingkungan Dibalik Jebolnya Tanggul Limbah Tambang Batu Bara di Bunyu

BULUNGAN, LENSAKU.ID – Ketua Eksekutif Wilayah LMND Kalimantan Utara, Mohammad Aswan, memandang kejadian jebolnya tanggul limbah tambang batubara PT. Saka Putra Perkasa (SPP) di Bunyu sebagai fenomena kejahatan lingkungan.

Pemerintah dinilai turut andil bertanggung jawab terhadap peristiwa ini. Mengingat pemberian izin pengoperasian ekspansi perusahaan ekstraktif pertambangan batu bara di pulau-pulau kecil adalah bentuk pembenaran kejadian tanggul jebol akan terjadi.

“Kejadian ini merupakan fenomena kejahatan lingkungan yang diizinkan pemerintah. Tidak hanya satu perusahaan, melainkan ada enam perusahaan pertambagan batu bara, minyak dan gas. Tiga diantaranya perusahaan ekstraktif pertambangan batu bara yang beroperasi di pulau kecil tersebut,” kata Aswan dalam keterangannya, Kamis (2/2).

Baca juga:  Kapolda Kaltara Menghadiri HUT ke-4 Korem 092/Maharajalila; Menunjukkan Sinergi Antara Kepolisian Dan TNI

Dia memaparkan, aktivitas tambang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sangat erat kaitannya dengan pelanggaran hukum. Ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 35 huruf (k) pada UU No. 1/2014 perubahan UU No. 7/2007 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K).

Aturan tersebut melarang adanya pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk kegiatan penambangan mineral pada wilayah yang secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan, pencemaran lingkungan atau merugikan masyarakat sekitarnya.

LMND Kaltara telah berkomunikasi dengan salah satu warga terdampak bernama Hariyono. Dia mengkonfirmasi belum bisa memastikan nominal kerugian materil yang diderita. Adapun, Pemprov Kalimantan Utara melalui Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan, Bustan, baru menawarkan pertemuan Hari Jumat besok.

Baca juga:  Mewujudkan Sarana Ibadah yang Nyaman Melalui Pembangunan Gereja Betesda

Sementara itu, LMND mendapat konfirmasi jika PT. Saka Putra perkasa sendiri sudah tidak aktif beroperasi dan meninggalkan Pulau Bunyu pada Juli 2022.

Secara umum, Aswan memandang persoalan ini bukan masalah ganti rugi semata dan menghitung berapa banyak dampak kerugian materil yang di dapatkan. Ia menilai perlu ada perhatian khusus dari pemerintah terkait persoalan pertambangan di pulau-pulau kecil yang merupakan pelanggaran hukum.

Baca juga:  Bupati Bulungan Terima Hibah Ventilator

“Perlu ada sikap tegas dari pemerintah provinsi dan pusat terkait keberadaan Pulau Bunyu. Kejadian-kejadian tanggul jebol dan pencemaran lingkungan tidak akan terjadi apabila perizinan pertambangan di area pulau-pulau kecil tidak di izinkan,” jelasnya.

Aswan juga menyorot perihal izin operasi pertambangan PT. Saka Putra Perkasa yang diketahui masih aktif sampai 2026. Namun aktivitas pertambangan justru sudah berhenti dan meninggalkan tanggul limbah tambang begitu saja.

“Kalau melihat regulasi, seharusnya perusahaan ertambangan batubara perlu melakukan reklamasi lubang tambang, tapi ini tidak dilakukan oleh PT. SPP,” pungkasnya.(rdk).

Bagikan:

[the_ad id="15053"]
[the_ad id="15055"]
[the_ad id="15594"]