Penyelesaian Lahan Warga Untuk Pembangunan Puspem Masih Dipertanyakan,,???
TANA TIDUNG – Penyelesaian lahan milik masyarakat yang menjadi lokasi Pusat Pemerintahan Tana Tidung masih menjadi tanda tanya sampai sekarang. Pemkab Tana Tidung dikhawatirkan mengesampingkan hak hak pemilik lahan yang ada.
Salah satu Pemilik Lahan, Jhon mengatakan, pihaknya tidak kunjung mendapat kejelasan perihal kelengkapan dokumen penyelesaian lahan dari pemerintah. Sementara proses pembangunan justru sudah mulai dilakukan.
“Masalah kelengkapan dokumen masih kami pertanyakan. Karena lahan masyarakat ini sudah banyak terkena dampak tanpa ada proses penyelesaiannya,” kata Jhon, Minggu (19/2).
Jhon menilai Pemkab Tana Tidung belum mengantongi dasar hukum melakukan pembangunan. Mengingat Surat Keputusan (SK) yang ditanda-tangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tanggal 13 September 2022, sebatas pelepasan kawasan hutan yang dapat dikonversi sebagai lokasi pembangunan.
“Memang ada SK dari kementerian, tapi bukan untuk membangun. Itu hanya pelepasan hutan untuk rencana pembangunan pusat pemerintahan,” ungkapnya.
Pemkab harus menyadari jika ada poin kewajiban untuk menyelesaikan hak masyarakat sebelum dilakukan pembangunan. Namun poin tersebut belum ditunaikan di tengah pelaksanaan pekerjaan saat ini.
“Problem nya itu (penyelesaian hak pemilik lahan) belum dilakukan, tapi pembangunan sudah berjalan. Ini tanda tanya beberapa pemilik lahan, termasuk saya,” papar Jhon yang memiliki lahan sekitar 1 hektar.
Sebagaimana diketahui, kawasan hutan sekitar 405 hektar yang dilepaskan Kementerian LHK tidak seluruhnya milik perusahaan HTI di sana. Melainkan ada lahan yang status kepemilikannya dimiliki masyarakat.
“Penggarapan di lahan saya sudah sejak lama. Kalau melihat pohon di tempat saya saja sudah sekitar 35 tahun,” kata Jhon.
“Sampai sekarang pohon itu tegak berdiri, tidak diganggu oleh perusahaan yang punya izin HTI di sana. Artinya legalitas kepemilikan lahan saya diakui,” paparnya menambahkan.
Pemkab Tana Tidung dinilai tidak membangun komunikasi penyelesaian lahan yang jelas kepada para pemilik. Forum pertemuan yang dilaksanakan selama ini justru mengabaikan hak masyarakat pemilik lahan.
Pemkab Tana Tidung pun disebut belum pernah menggelar forum pertemuan dengan seluruh pemilik lahan secara serentak.
“Setiap pertemuan yang bahasanya konsultasi itu selalu condong ke presentasi. Kalau konsultasi kan supaya ada win win solution, tapi ini lebih ke presentasi terkait pembangunan,” ujarnya.
Jhon mengkhawatirkan tidak adanya kejelasan penyelesaian lahan berujung kepada masalah yang menimbulkan kerugian bagi pemilik lahan. Mengingat kasus serupa telah terjadi pada beberapa daerah di Kaltara.
“Jangan sampai nanti tidak jelas penyelesaiannya, ada oknum yang mencari keuntungan dan lainnya. Para pemilik lahan harus mendapat perlindungan, karena tidak semua mengerti dengan hal terkait ini,” ujarnya.
Oleh karena itu, Jhon mendesak Pemkab Tana Tidung mengikuti prosedur dan aturan terkait penyelesaian lahan milik masyarakat di lokasi pembangunan. Kemudian ada kejelasan soal hak yang diterima pemilik lahan di sana.
“Ketika apa yang menjadi hak pemilik lahan tidak diberikan secara benar, tentu kita akan mengambil sikap yang berpatokan dengan hukum. Saya juga akan sounding lagi masalah ini ke beberapa lembaga di Jakarta,” kata Jhon.
Sebelumnya, keberatan terkait pembangunan Pusat Pemerintahan Tana Tidung di Desa Seludau, Kecamatan Sesayap Hilir, sudah diadukan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Secara umum, pembangunan disebut akan menghilangkan Wilayah Adat Suku Dayak Belusu serta nilai nilai adat yang terkandung di dalamnya. Pemberi aduan atas nama Rony Efendy dkk juga menyampaikan kronologi permasalahan terkait pembangunan tersebut.(rdk)