• Senin, 7 Oktober 2024

Kampanye Hitam AMDK : Dari Tangerang Sampai Manchester, Strategic Partnership Bukanlah Monopoli

JAKARTA, LENSAKU.ID  — Seakan tiada jera, black campaign di industri air minum dalam kemasan (AMDK) kembali merebak. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah Le Minerale. Kali ini Le Minerale dituduh di sejumlah media massa dan akun media social telah melakukan persaingan tidak sehat lantaran pedagang di sejumlah lokasi lebih mengutamakan menjual produknya.

Ketika diminta tanggapannya, Dosen Ilmu Komunikasi Algooth Putranto menjelaskan, bahwa tuduhan praktik persaingan tidak sehat atau monopoli adalah tuduhan serius dan bisa berujung konsekuensi hukum jika pihak yang menuduh tidak bisa membuktikannya.

“Ada konsekuensi. Ini sebutannya fabricated news. Berita yang diada-adakan. Bahkan meski kasusnya diajukan ke Dewan Pers untuk mediasi, setelah ada permintaan maaf dari media, maka tidak menutup kemungkinan pihak yang masih merasa dirugikan oleh tuduhan monopoli bisa melakukan gugatan ke media tersebut,” tegas Algooth, mantan jurnalis media bisnis terkemuka yang kini menjabat Dosen Ilmu Komunikasi sekaligus Ketua Center for Entrepreneurship, Tourism, Information and Strategy (Centris) Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta.

Sebagai informasi, sejumlah media mengulas berita bahwa terdapat sejumlah lokasi foodcourt di Bogor dan komplek olah raga Gelora Bung Karno yang menjual hanya produk Le Minerale. Berita tersebut menarasikan seolah terjadi pelarangan penjualan merek lain. Faktanya, lokasi berbagai foodcourt tersebut telah dibantu oleh Mayora, induk Le Minerale dengan membangun foodcourt yang bersih, secara gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun kepada para pedagang yang notabene usaha kecil menengah (UKM) yang tidak memiliki modal untuk membangun tempat berjualan yang layak.

Bahkan, ketika disambangi media di lokasi Foodcourt Sempur, Bogor, para pedagang mengaku menjual produk Le Minerale lantaran berterima kasih Le Minerale menjadi brand AMDK pertama yang benar-benar peduli dengan kesulitan mereka dalam mendapatkan tempat berjualan yang bersih dan tertata apik. Seperti yang diungkapkan Solihat, pedagang soto mie bogor di Foodcourt Sempur yang telah 10 tahun lebih berjualan di kawasan Taman Sempur.

“Saya sebelumnya berjualan di pinggir lapangan basket di tenda yang kumuh. Setelah Foodcourt Sempur dibangun Mayora saya pindah ke sini, gratis. Karena itu saya sangat berterima kasih ke Mayora, Le Minerale sudah diberikan tempat berjualan gratis. Sebagai timbal balik, kami mengutamakan menjual produk dari Mayora seperti Kopi Torabika, dan air Le Minerale,“ ujar Solihat yang juga menjadi sekretaris koperasi pedagang foodcourt Sempur yang mengelola pemeliharaan fasilitas di lokasi tersebut.

Pun demikian halnya Endang pedagang pempek yang juga telah lama berjualan di Taman Sempur dan kini mendapat berkah berjualan gratis di Foodcourt Sempur yang bersih dan nyaman.

“Itu kesadaran kami berterima kasih jadi utamakan menjual produk Mayora dan Le Minerale. Ini dari kumuh sampai rapi dibangun gratis dari tadinya tenda kumuh. Karena itu saya utamakan jual Le Minerale sebagai tanda terima kasih saya,” urai Endang bersungguh-sungguh.

Meskipun para pedagang sudah bersuara dengan jujur, toh tetap saja tuduhan jahat terus bergaung. Bahkan pada Minggu, 23 Juli 2023, fitnah tersebut terpantau merangkak ke media sosial. Salah satu akun justru melemparkan tuduhan keji dengan gambar perbandingan antara berita apresiasi pedagang dan berita fitnah praktik perdagangan tak sehat.

Agus Hermanto Dosen Periklanan dari Univ Muhamadiyah Jakarta sendiri menyebut yang dilakukan Le Minerale merupakan hal yang lazim dan etis di dunia marketing, yakni konsep marketing public relations, dengan strategi trade promotions.

“Dengan program CSR, Mayora atau Le Minerale membangun foodcourt gratis untuk pedagang kaki lima. Sebagai apresiasi timbal balik telah dibuatkan foodcoourt yang nyaman secara gratis, pedagang mengutamakan menjual produk Mayora atau Le Minerale di sana. Itu lazim dan etis, kok. Kalau pesaingnya seperti Aqua mau meniru CSR-nya, ya silakan saja,” tegas Agus.

Safaruddin Husada, Pengajar di Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta turut menyebutkan bahwa tujuan utama program corporate social responsibility (CSR) adalah meraih favourable opinion dari para stakeholder alias pemangku kepentingan merek tersebut.

“Dalam hal CSR Le Minerale di foodcourt Bogor maka stakeholdernya salah satunya adalah UKM, pedagang tersebut. Jadi ya wajar pedagang tersebut senang karena mendapat benefit CSR dan berujung menjual produk Le Minerale. Itu normal,” jelas Safaruddin.

Pun demikian dengan Algooth yang menilai upaya Le Minerale dalam menggandeng UKM adalah lazim seperti halnya yang dilakukan brand besar lainnya.

“Ya itu, di Tangerang, ada Indomilk Arena kan. Lalu di luar negeri, ada Allianz Stadium, Etihad, Emirates Stadium dan lain-lain. Masa iya, sudah sponsorin terus yang berjualan adalah merek lain, kan tidak begitu. Itu bukan monopoli, melainkan kerja sama strategis,” jelas Algooth.

Justru Algooth menegaskan, bahwa yang terbukti melakukan persaingan tidak sehat adalah Aqua, yang jelas divonis oleh KPPU yang kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Algooth sendiri merujuk pada kasus persaingan tidak sehat yang dilakukan oleh Aqua, yakni PT Tirta Investama dan distributornya PT Balina Agung Perkasa yang terbukti melakukan monopoli usaha dengan melarang sejumlah pedagang kecil dan menengah menjual merek AMDK pesaingnya seperti Le Minerale.

“Kasus itu berujung vonis denda sebesar Rp 13,8 miliar kepada PT Tirta Investama dan Rp 6,2 miliar kepada PT Balina Agung Perkasa yang diputuskan Mahkamah Agung pada November 2019,” urai Algooth mengutip berita valid yang dimuat media massa nasional.

Algooth memaparkan, ada berbagai sebab mengapa sebuah brand terus menerus mengeluarkan jurus black campaign. Salah satunya, karena brand tersebut kehabisan kreativitas dalam menghadapi pesaingnya. Sehingga, taktik terburuk dalam strategi komunikasi public relations, yakni propaganda, diluncurkan. “Jadi teknik propaganda Argumentum Ad Nauseam ini dilakukan dengan menyebarkan suatu gagasan secara berulang kali hingga dianggap sebagai sebuah kebenaran. Contohnya, suatu isu yang awalnya dianggap sebagai berita palsu atau hoaks. Namun, karena banyak media  baik media massa atau sosial media membicarakannya, isu tersebut kemudian dianggap sebagai suatu hal yang benar-benar terjadi,” jelas Algooth.

Menurut Algooth hal tersebut yang sedang dilancarkan pesaing terhadap Le Minerale. “Ini strategi komunikasi yang buruk karena dia menyebarkan kebohongan,” tegas Algooth.

Menariknya, Algooth menjelaskan bahwa black campaign yang dilakukan pesaing Le Minerale ini sangat tersistematis. Termasuk penggunaan media kecil terlebih dulu dan kemudian diamplifikasi ke media social.

“Jadi algoritma Google di seluruh dunia berubah beberapa tahun lalu.  Google kini memprioritaskan media daerah untuk keadilan coverage karena dulu Jakarta sentris. Nah agar lebih bergema kemudian black campaign ini di-elevate ke media agar semakin luas eksposurnya,” terang Algooth.

Pun demikian, Safaruddin menasihati para pemain AMDK yang masih menggunakan taktik black campaign.

“Pasar AMDK Indonesia itu ratusan triliun rupiah setiap tahunnya. Untuk apa pakai black campaign. Akan ada titik dasar penggunaan black campaign hingga kemudian berbalik menghantam penyebarnya. Pada akhirnya genuine and authentic public relations program yang akan berdampak panjang secara positif ,” pungkas Safaruddin. [Rdk@]

Read Previous

Asisten bidang Perekonomian dan Pembangunan, Bustan ajak semua pihak dukung Cinta dan Bangga Rupiah

Read Next

Sebanyak 1005 Siswa SMP Akan Terima Bantuan Perlengkapan Sekolah

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Most Popular