BERAU, LENSAKU – Sejumlah penjual pasir yang beroperasi di Kabupaten Berau mengaku terpaksa menaikkan harga pasir lantaran bahan bakar berupa solar terbatas di pasaran. Kalau pun ada, harganya melonjak tinggi.
Hal itu diungkapkan secara langsung oleh salah seorang penjual pasir sekaligus Ketua Koperasi Maju Bersama Berau, Wahyuddin. Dirinya mengatakan, banyak pengusaha pasir yang mengeluh lantaran ketersediaan solar yang mahal dan terbatas. Kondisi itu pun membuat para pelaku operasi galian C itu terpaksa menaikkan harga.
“Sebenarnya kami tidak mau menaikkan harga. Dari beberapa waktu kemarin semua material lain seperti batu gunung dan batu pecah harganya naik. Tetapi, kami masih dapat bertahan. Kemudian, harga bahan pokok yang ikut naik, kami masih juga bertahan alias tidak menaikkan harga pasir,” tuturnya, saat ditemui di Kantor Koperasi Maju Bersama Berau, Kelurahan Gunung Panjang, Tanjung Redeb, Selasa (24/8).
Dirinya mengungkapkan, dalam mendapatkan bahan bakar tersebut, untuk jenis bahan bakar subsidi saja, yakni solar harganya menyentuh Rp 240 – 250 ribu per geleng dari harga biasa yang sebelumnya menyentuh Rp 130 – 140 ribu. Itu pun isinya hanya mencapai 15 – 16 liter, tidak mencapai 20 liter.
“Jadi, kalau dikalkulasi secara literan bisa mencapai Rp 15 ribu per liter. Oleh karenanya, kami bersama teman-teman berunding untuk menjual dengan mengimbangi harga solar ini dengan menaikkan harga pasir dari Rp 75 ribu per kubik menjadi Rp 110 per kubiknya,” ungkapnya.
Tidak hanya harga yang melonjak, Wahyuddin juga menyebutkan, sulit untuk mendapat bahan bakar jenis solar oleh pihaknya. Menurutnya, pemakaian solar yang membengkak menjadi salah satu pemicunya. Kenaikan harga pasir ini pun terpaksa disepakati sejak 15 Agustus 2022.
“Selain solar, sebenarnya kami bisa memakai dexlite yang harganya Rp 18 ribu per liter. Namun, kalau harus membeli dexlite, harga pasirnya justru makin membengkak lagi karena kami langsung membeli 20 liter dan dapatnya Rp 360 ribu per satu gelengnya. Makanya, kami biasa beli yang subsidi,” ucapnya.
Adapun untuk pemakaian bahan bakar yang berupa solar itu, Wahyuddin menerangkan, biasanya dari total satu pelaku operasi rata-rata sekira 200 liter per hari. Yang mana ditargetkan untuk dapat seimbang dengan kebutuhan operasi. Akan tetapi, belakangan ini pihaknya hanya mendapat 80 liter saja.
“Terkadang mobil harus mengantre hingga 2 hari untuk medapatkan bahan bakar solar. Jadi, sisanya itu dibeli di eceran. Kalau pun tidak ada, maka kami tidak beroperasi karena tidak adanya bahan bakar,” pungkasnya. (*/CTN)