JAKARTA – Banyak riset di dunia sudah membuktikan, senyawa Bisphenol A (BPA) memang berbahaya bila digunakan sebagai campuran bahan kemasan makanan dan minuman. Galon air minum isi ulang, kemasan makanan kaleng, botol susu bayi, adalah beberapa contoh yang paling dikenal publik.
Sadar akan seriusnya bahaya BPA, belum lama ini Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) mengumumkan revisi level keamanan BPA, dengan secara signifikan mengurangi ukuran asupan harian BPA yang dapat ditoleransi (Tolerable Daily Intake/TDI) tubuh manusia.
Artinya, industri global dipaksa harus berbenah, demi keselamatan serta kesehatan anak-anak dan orang dewasa di seluruh dunia.
Bagaimana dengan di Indonesia?
“Isu BPA ini bukan lagi isu nasional, tapi sudah jadi isu global. Banyak negara yang saat ini sudah melakukan revisi terhadap regulasi yang pernah ada sebelumnya. EFSA sudah melakukan penilaian ulang terhadap TDI atau asupan harian yang bisa ditoleransi terhadap BPA,” kata Anisyah, Direktur Standarisasi Pangan Olahan BPOM, saat wawancara dialog bertema “Urgensi Pelabelan BPA pada Galon Polikarbonat Bermerek”, di tayangan utama sebuah televisi swasta di Jakarta, awal pekan ini.
“Semula pada 2015, EFSA menetapkan TDI untuk BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023 lalu, sudah ada pemberitahuan dari EFSA bahwa TDI yang baru sudah ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai TDI yang baru ini 20.000 kali lebih rendah,” katanya.
Apa itu artinya? “Jadi, asupan harian (BPA) yang bisa ditoleransi menjadi lebih ketat. Ini salah satu yang melatarbelakangi kenapa kami juga melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada,” kata Anisyah.
Sebagaimana diketahui, panduan ilmiah EFSA mendukung pengambilan keputusan Komisi Eropa dan Negara Anggota UE, yang bertanggung jawab untuk menetapkan batas jumlah bahan kimia yang dapat bermigrasi dari kemasan ke makanan/minuman, atau memperkenalkan pembatasan khusus lainnya untuk melindungi konsumen.
Menurut Anisyah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan penilaian ulang atau review regulasi sebelumnya, karena mempertimbangkan dampak kesehatan dan risiko terjadinya pelepasan BPA selama proses distribusi. Selain itu, juga diperkuat dengan hasil pengawasan BPOM selama 2021-2022, yang menunjukkan terjadinya peningkatan migrasi BPA pada kemasan galon isu ulang yang cukup signifikan berdasarkan data BPOM.
“Ini cenderung mengkhawatirkan. Karena hasil ujinya ini ada di kisaran 0,05 sampai 0,6 PPM, ini cukup tinggi. Ada juga yang sudah melebih ketentuan yang ada di atas 0,6 PPM. Ini menjadi dasar kami melakukan review,” katanya.
Di Indonesia sendiri dalam Peraturan BPOM No. 20 tahun 2019 tentang Kemasan Pangan, sudah diatur terkait batas migrasi BPA di dalam kemasan galon isi ulang polikarbonat sebesar 0,6 PPM.
Merujuk regulasi di berbagai negara, migrasi BPA dari kemasan juga diatur dengan batasan-batasan yang juga terus berubah semakin ketat. Ada yang melakukan perubahan dari semula 0,6 PPM berubah menjadi 0,05 PPM, dengan pertimbangan kajian dampak BPA.
Sebagai contoh di Uni Eropa (UE) yang pada 2011 menetapkan batas migrasinya 0,6 PPM, tetapi pada 2018 berubah lagi menjadi makin ketat menjadi 0,05 PPM. Thailand dan Mercosur (negara-negara Amerika Selatan) juga sudah menetapkan batas maksimum migrasi BPA sebesar 0,05 PPM.
Selain pembatasan migrasi, di banyak negara juga sudah melarang penggunaan BPA pada botol bayi. Termasuk peralatan makan untuk anak hingga usia 3 tahun.
Prancis, Brazil, negara bagian Vermont (Amerika Serikat) dan Kolombia, sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan.
Terkait pencantuman label di negara bagian California, AS, BPA termasuk salah satu senyawa yang diatur dalam Proposition 65 (Peraturan Negara Bagian California) yang harus mencantumkan peringatan pada label kemasan setiap produk dan pada ritel/rak penjualan, tentang bahaya BPA.
“Di negara bagian Illinois, AS, ritel juga diwajibkan memberi tanda yang jelas bahwa wadah yang dijual itu bebas BPA,” kata Anisyah.
Di Korea Selatan juga diatur pencantuman BPA Free pada label dan iklan untuk peralatan makan.
Dalam kesempatan yang sama, Mochamad Chalid, pakar polimer yang juga mengepalai lembaga Center for Sustainability and Waste Management – Universitas Indonesia (CSWM UI), mengatakan bahwa paparan suhu matahari pada saat proses distribusi kemasan galon isi ulang berpotensi memicu migrasi BPA ke dalam air minum di dalamnya.
“Peluruhan BPA sangat tergantung pada suhu dan berapa lama galon kemasan air minum isi ulang itu disimpan atau digunakan, yang bisa berdampak terjadinya migrasi BPA ke dalam produk air minum dalam kemasan,” kata Mochamad Chalid.
“Faktor lain adalah potensi keasaman (Ph), karena galon isi ulang itu dicuci dengan deterjen, maka dapat meningkatkan keasaman pada air dalam kemasan,” katanya.
Sementara, Pandu Riono, pakar Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia, mengatakan bahwa memang risiko kesehatan yang ditimbulkan akibat BPA dampaknya luar biasa.
“Bahkan sejak dalam kandungan sudah ada potensi yang bisa mengganggu pertumbuhan janin, sehingga dalam perkembangannya akan menimbulkan berbagai masalah kesehatan, termasuk di antaranya ASD (Autism Spectrum Disorder) atau autisme, dan ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder),” katanya.
Akumulasi konsumsi air (yang terkontaminasi BPA), “Dalam jangka panjang akan menimbulkan banyak sekali gangguan dalam sistem tubuh kita,” kata Pandu Riono. Gangguan kesehatan ini bisa muncul dalam bentuk berbagai macam gangguan, dari reproduksi hingga kanker.
“Semua penyakit ini trend-nya sedang meningkat, walau bukan disebut penyakit menular,” katanya.
“Air yang disimpan dalam kemasan zat toksik ini secara perlahan-lahan meracuni kita, tanpa kita sadari,” kata Pandu.